Olah pikir, olah rasa, olah kata

The Art of Leadership

Akhirnya dapat mencocokan waktu dan memenuhi undangan panitia untuk sharing dalam kuliah umum enabling skill. Panitia meminta topik terkait leadership untuk sekitar 400-an mahasiswa. Kuliah umum dikelas besar ini memang penuh tantangan, apalagi waktunya after lunch pula. Tapi inilah kesempatan baik untuk berinteraksi dan menginternalisasi makna hakiki dari leadership dalam kerangka nilai-nilai yang dipegang oleh institusi.

Kembali ke topik yang diminta, materi leadership ini sangat jauh dari kepakaran keilmuan. Rekam jejak tridharma tidak banyak yang mengarah kesitu. Satu-satunya modal mungkin pengalaman suka-duka membangun kampus tercinta. Jadi, yang disampaikan lebih banyak refleksi mulai dari mana, apa yang sudah dan sedang dilakukan serta tentang mimpi yang ingin diraih.

Yup, karena itulah hakikatnya leadership. Mengutip dari suhu bidang ini, John C. Maxwell, yang mungkin kita sering dengar. The leader is one who, knows the way, shows the way, and goes the way. Dalam konteks ini mencoba mengajak berdiskusi dan berpikir hal-hal sederhana dengan mahasiswa tentang mau apa dan kemana setelah ini. Kenapa mau kesana, apa saja yang akan dilakukan dan yang mau dituju. Kemudian modal apa yang sudah dipunyai di posisi mereka yang rata-rata semester 6 ini.

Di ruang-ruang diskusi seperti kuliah beradu pikir adalah sehat. Tetapi waktu dan tugas kita banyak di ruang-ruang nyata. Sehingga berdiskusi dan berpikir saja tidak cukup. Salah satu poin penting dalam leadership adalah mewujudkan pikiran menjadi tindakan. Walau pada kenyataannya tidak semudah itu. Berpikir itu mudah, mengambil tindakan itu yang sulit, begitu kata penyair dan novelist Jerman, Johann Wolfgang. Wajar kalau data menunjukan bahwa sekitar 67 persen orang yang di survey mempunyai tujuan/goal. Namun hanya 10 persen diantaranya yang mempunyai rencana yang realistis untuk mencapai tujuannya. Dan hanya 2 persen yang merealisasikannya.

Banyak yang gagal ambil aksi tentang rencana bagus yang syarat referensi. Padahal orang bijak bilang bahwa resep boleh sama, tapi eksekusi yang membuatnya berbeda. Ada beberapa faktor penyebabnya. Mungkin saja tidak tahu memulai dari mana, menunggu waktu dan mood yang pas yang tak kunjung tiba. Padahal “The trick to acting on your goals is getting started”. Alasan lain mungkin karena kekhwatiran berlebihan kalau hasilnya tidak sempurna. Nyatanya, mungkin kita tidak harus mendapatkan sesuatu yang sempurna, yang dibutuhkan adalah membuat progres. Dalam banyak kesempatan, sering disampaikan kepada seluruh sivitas akademika tentang hal ini. Kita harus terus bergerak, karena berhenti artinya mundur. Dalam banyak peristiwa, mahasiswa sering lupa dan terlena atas capaian yang sudah diraih. Padahal itu masih merupakan proses bukan destinasi.

Sebagai contoh tidak sedikit yang lupa dan merasa tenang serta jarang bimbingan lagi saat lulus sidang proposal proyek akhir. Banyak yang merasa belum ada progres, sedangkan mereka tidak mencoba memulai kembali. Sebagiannya baru sibuk menjelang sidang yudisium karena ingin mengejar wisuda pada periode berjalan. Salah satu nilai yang ditanamkan di kampus adalah excellence. Sejatinya dalam konteks leadership “the excellence is not about being the best, it’s about being the best at what you do”. Lakukanlah sesuai dengan kekuatan unik yang dimiliki masing-masing. Maka excellence harus dimaknai juga sebagai proses perbaikan berkelanjutan, bukan kesempurnaan. Ini tentang sebuah perjalanan, bukan akhir dari tujuan.

Fenomena lain yang sering muncul adalah ketidak-enakan atau menghindari ketidak-populer-an. Tidak sedikit yang berpikir bahwa kalau suatu tindakan diambil, akan membuat orang lain tidak suka atau tidak respect. Biarlah pihak lain yang mengambil tindakan dan resikonya. Bagai melempar monyet dalam gendongan. Padahal tindakan yang diambil adalah didasari atas tanggung jawab yang besar, bukan sekedar otoritas. Inilah yang membedakan antara seorang leader dan manager menurut Seth Godin dalam beberapa tulisannya. Responsibility vs authority, antara mengapa vs bagaimana, dan perubahan vs menjaga status quo.

Bicara leadership kadang tidak mudah, sangat dinamis dan begitu kompleks. Tetapi sangat mungkin untuk dimulai dari diri sendiri. Setidaknya ada tanggung jawab yang harus diambil. Bukankah setiap dari kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, termasuk diri kita sendiri. Tanggung jawab yang kedua adalah karena kita diciptakan dengan spesifikasi yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya. Maka kewajiban kita untuk mengoptimalisasi dan mensyukurinya menjadi manusia yang unggul dan bermanfaat. Berkompetisi dengan diri sendiri untuk berbuat yang lebih baik. Karena ini bukan sekedar meraih kemenangan, tetapi melakukan yang terbaik. Lalu gunakan usaha terbaik ini untuk membantu dalam membuat perubahan, membuat banyak mitra untuk kolaborasi, melihat keunikan kita dibanding kompetitor, dan terakhir selalu berpikir terbuka atas keunggulan pesaing sebagai kesempatan untuk belajar.