Kesempatan Kedua

Apakah kesempatan kedua itu ada? Sebagian menyatakan tidak ada, biasanya berujung pada penyesalan. Kalau diikuti dengan move on, tipe seperti ini lebih baik. Dia akan instropeksi diri, bangkit, dan berusaha lebih baik. Menjadikan yang sudah terjadi sebagai pembelajaran, tidak diulangi, dan berusaha mendapat kesempatan dalam bentuk lain. Kurang lebih model seperti ini seperti yang disebut dalam lagu dari Tangga, kesempatan kedua 😀.

Ada juga tipe yang menganggap kesempatan selalu ada, walau tanpa diperjuangkan. Biasanya penganut kepercayaan, ah nanti saja atau besok-besok. Model seperti ini mungkin terinspirasi oleh film Arini masih ada kereta yang akan lewat atau lagu esok kan masih ada 😎. Dia akan menyesal dan menjadi tipe pertama jika sudah tau bahwa yang terjadi ternyata kesempatan terakhir. Yang ketiga, ada juga golongan yang menyatakan kesempatan kedua itu ada atau bisa diciptakan. Bahkan sampai kesempatan ketiga, keempat, dan seterusnya. Dan ini yang menarik. Menghadirkan peluang dan kesempatan, seolah menjemput takdir baik yang tentu perlu diupayakan dengan cara tidak biasa, konsisten, dan persisten. Karena pada akhirnya yang terbangun adalah tidak hanya chemistry, tetapi ada engagement yang kuat, bahkan mungkin kenyamanan. Tipe ini, mirip lirik kali kedua, pada yang sama pokoknya 😍.

Bicara tentang kesempatan kedua ini, seolah menjadi refleksi kebahagiaan melihat para mahasiswa dan alumni mendapatkan peluang serta kesempatan mempresentasikan karya inovasinya di hadapan real investor. Presentasi ide bisnis di depan dosen dan para juri lomba kayaknya sudah biasa dan sering dilakukan. Tetapi dapat kesempatan pitching dengan waktu yang cukup di hadapan pebisnis multinasional, dipresentasikan dalam bahasa inggris adalah kesempatan istimewa, tidak semua orang dapat kesempatan yang sama.

Alhamdulillah, weekend kemarin dapat kunjungan kedua dari Founder dan President Director PT.GIH., Mr. Ramloo dan Miss. Phuspita. Beliau-beliau kembali melakukan pitching terhadap kelompok-kelompok mahasiswa dan alumni yang punya karya inovasi serta punya potensi layak untuk dilepas ke pasar. Bagi kami tentu tidak sekedar kesempatan dan kebahagiaan, tapi ini menjadi sebuah kehormatan dan rekognisi yang luar biasa. Kunjungan sekaligus kesempatan kedua ini tentu tidak berdiri sendiri. Ada benang merah yang menguhubungkan dengan kesempatan pertama saat kunjungan tahun lalu. Seolah kebetulan, dilakukan pada waktu yang sama, tempat yang sama, dengan pihak yang sama. Yang berbeda adalah tim yang melakukan pitching saja. Tim baru, tentu dengan karya yang baru. Dan yang menjadi perekatnya adalah kerendahan hati, tawadhu, tau dan menerima kekurangan, serta semangat untuk terus memperbaiki diri. Sehingga yang muncul adalah rezeki dan kesempatan yang bertubi-tubi. Bukankah inilah hakikat kita hidup.

Memahami Pola Interaksi Untuk Komunikasi Efektif

Sungguh menarik melihat beberapa staf mencantumkan identitas pola komunikasi di footer email-nya. Ini merupakan terobosan yang baik dalam membangun komunikasi efektif dalam organisasi. Disadari atau tidak sering terjadi hal-hal yang kontra produktif hanya karena miss-komunikasi atau communication problem lainnya. Untuk itu pengelolaan komunikasi menjadi sangat penting dalam meraih visi, misi, dan tujuan dari sebuah organisasi atau tim. Banyak leader atau project manager mengatakan bahwa komunikasi sangat mendominasi dalam menghabiskan waktu aktivitasnya.

Mungkin masih ingat tentang kejadian tidak tepatnya posisi tujuh pilar proyek kereta cepat jakarta bandung yang prestisius itu. Bukan saja pilarnya yang terpaksa harus dibangun ulang, tetapi proses pembongkarannya yang juga menimbulkan insiden yang cukup viral itu. Sebagai masyarakat awam rasanya tidak mungkin mega proyek seperti itu terjadi missed yang pasti menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar. Namun demikian, kejadian setidaknya memberikan pelajaran berharga bahwa selain pengawasan yang paling mendasar adalah adanya masalah komunikasi.

Dalam organisasi, semua elemen harus sadar betul akan adanya group and individual communication needs. Hal ini akan sangat membantu dalam penyampaian, penyajian, format, dan situasi seperti apa komunikasi dua pihak atau lebih harus dilakukan. Pengetahuan dan pemahaman atas communication needs untuk setiap individu/kelompok setidak akan membantu bahwa apa yang disampaikan oleh sender dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh receiver.

Identifikasi communication needs ini diperlukan karena pola komunikasi dan interaksi setiap orang berbeda-beda. People are not interchangeable parts. Sebagaimana dalam bukunya Brook, the mythical man-month, disampaikan bahwa kita tidak bisa berasumsi bahwa pekerjaan yang dikerjakan satu orang dalam dua bulan, tidak serta merta bisa digantikan oleh dua orang dalam satu bulan. Atau dengan kata lain, 9 wanita tidak bisa melahirkan seorang bayi dalam satu bulan.

Penyampaian pola komunikasi dan interaksi sosial setidaknya memberikan isyarat yang terbuka kepada peer atau rekan sejawat. Kolega bisa lebih paham dan mengerti tentang pola komunikasi dan respon apa yang harus dilakukan. Secara tidak langsung keterbukaan pola komunikasi akan meminimalisir terjadinya masalah-masalah yang ditumbulkan dalam berkomunikasi. Sudah banyak organisasi modern yang melakukannya. Sebagaimana disampaikan di bagian awal, dalam komunikasi menggunakan email misalnya, sign pola komunikasi bisa ditampilkan di bagian footer. Di pekerjaan-pekerjaan yang habitatnya banyak di lapangan yang syarat emosi, sign pola komunikasi banyak disematkan pada wear pack atau safety helmet. Biasanya menggunakan sign warna untuk pola komunikasi yang dominan. Ini sangat common di dunia industri.

Selanjutnya, tinggal dibagun kesadaran dan pemahaman bersama bahwa setiap individu atau kelompok dalam sebuah entitas untuk mewujudkannya. Cara sederhananya, lakukan asesmen pola komunikasi/interaksi sosialnya. Lalu, jangan segan-segan untuk menyampaikannya. Banyak tools asesmen pola komunikasi dalam bentuk aplikasi yang bisa digunakan. Kita bisa melakukannya secara berkala, karena sangat mungkin dengan situasi dan kondisi pola komunikasinya berubah. Mari bangun komunikasi yang efektif dengan nuansa harmoni.

Dadang
Konkret (27) – Sensitif (26) – Spontan (25) – Intelektual (24)

Sense of Crisis adalah Kebutuhan

Kadang suka gak nyadar, bahwa usia ini terus menua. Masih gak merasa bahwa anak-anak juga tambah besar. Si sulung bahkan mau masuk semester enam. Mereka sudah punya privasi dan agendanya sendiri. Mereka harus mulai diajak diskusi dalam menentukan sesuatu. Tidak bisa lagi kita emong dan kita fasiltasi terus menerus. Sudah waktunya mulai melepas, melatih dan memberikan ruang untuk keluar dari zona nyamannya. Mereka harus belajar menemukan jalan hidupnya sendiri, merasakan pengalamannya sendiri, bukan dari cerita dari orang tuanya. Bukankah sudah alamiah, suatu saat mereka akan pisah juga.

Kemarin anak sulung minta ijin mau ketemu teman-temannya di salah satu bilangan di Jakarta. Katanya dia mau “ngongkos” naik KRL dari parung panjang. Secara geografis, stasiun itulah yang paling dekat dengan rumah kakek-neneknya di Curug Tangerang. Rupanya dia sudah cari referensi sana-sini, karena inilah pengalaman pertamanya ke Jakarta menggunakan angkutan umum sendiri. Dan yang paling khawatir adalah neneknya, kenapa nggak diantar saja katanya. Ibunya was-was juga, walau hanya diam saja. Bapaknya campur aduk, di satu sisi seneng, disisi lain cukup gundah. Seneng, karena dia mulai berani melakukannya sendiri, menjemput pengalamannya sendiri, naik angkutan umum, berdiri di kereta, dan tentu saja hiruk pikuk lainnya. Cukup gundah, karena belum sepenuhnya tega melepas, ada kekhawatiran, belum siap kalau dia menemukan kesulitan-kesulitan di perjalanan.

Pada posisi ini, mulai sadar bahwa yang susah move on ternyata orang tuanya. Anaknya gak apa-apa. Dia menunjukkan bahwa dia mau belajar. Gak mungkin selamanya dibawah bayang-bayang orang tuanya. Dia butuh itu. Seakan dia ingin menegaskan bahwa saat ini kuliah di jurusan yang lapangan. Semester depan harus magang, yang mungkin tempatnya panas, keringatan, dan keras. Sebetulnya ini bukan pengalaman pertama kali dia melakukannya sendiri. Di Bandung, dia terbiasa naik angkot, naik ojek online dan sejenisnya. Bahkan sudah tahu juga naik kereta lokal Bandung-Cicalengka, jika sekali-kali ingin berkunjung ke rumah neneknya di Cikancung. Tapi ini ke Jakarta, rasanya agak lain.

Alhasil, akhirnya kami lepas juga, kami antar ke stasiun yang lebih ramai di Rawabuntu masih seputaran BSD. Tentu saja dengan berbagai pesan, terutama dari ibunya. Pastikan baterai HP penuh, bawa power bank, kabari setiap saat. Saya tetap kalem, walau hatinya sedikit deg-deg-an. Sesekali japri, nanti kalau naik kendaraan berbasis online jangan lupa share live location yah. Alahmdulillah, menjelang magrib, dia sudah kembali lagi dengan selamat.

Kejadian ini, setidaknya mengingatkan kita semua bahwa kita harus selalu melatih sense of crisis, keluar dari dari zona nyaman. Topik ini sering saya sampaikan saat kuliah ke mahasiswa, seminar-seminar, atau pada waktu kegiatan team building. Tetapi, menerapkannya, terutama ke anak sendiri ternyata tidak mudah. Antara logika, ikatan emosional, kekhawatiran, bahkan over thinking kadang selalu ikut mewarnai dalam sebuah pengambilan keputusan. Memang perlu keberanian untuk move on dan melepaskan diri dari pikiran-pikiran yang kadang membelenggu.

Sense of crisis harus menjadi salah satu ruh, tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi setiap institusi atau organisasi. Sense of crisis bisa mengawal supaya institusi tetap waspada dan punya kesadaran terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, atau disrupsi-disrupsi yang mungkin terjadi. Sense of crisis akan membuat institusi terus berinovasi, kreatif, serta responsif yang berujung pada institusi yang kompetitif, survive, dan sustain. Setidaknya, institusi akan lebih siap, seandainya terjadi guncangan, krisis atau resesi.

Suatu pagi, berdiskusi cukup lama dengan ayah mertua tentang banyaknya pilot-pilot yang grounded. Bukan jadi rahasia umum, pandemi covid-19 telah membuat porak poranda berbagai kegiatan bisnis, salah satunya bisnis penerbangan. Banyak maskapai mengurangi jumlah penerbangan. Akibatnya banyak pegawai yang dirumahkan, termasuk juga pada perusahaan-perusahaan penyedia fasilitas serta pendukung penerbangan seperti angkasa pura, catering, travel agent dan lain-lain. Padahal, disisi lain maskapai-maskapai ini harus tetap membayar overhead dan biaya sewa dari peswat. Krisis akibat pandemi ini telah memberikan pelajaran berharga. Kita bisa melihat tingkat ketahanan maskapai-maskapai ini dalam menghadapi krisis ini. Setidaknya, dalam dua bulan terakhir menjelang akhir tahun 2021, kita bisa melihat maskapai mana yang mendominasi penerbangan domistik. Apakah maskapai plat merah atau maskapai lain.

Rute Pekanbaru-Jakarta misalnya, Garuda yang biasanya cukup ramai, sekarang hanya dua kali saja dalam sehari. Meski ditambah dengan Citilink, penerbangan jalur ini, tetap saja didominasi oleh maskapai dari group Lion. Mungkin terjadi juga untuk kota-kota lain. Terminal 3 Ultimate yang biasanya menjadi singgasana dan simbol prestise penumpang Garuda, suasananya tidak begitu ramai lagi. Kalah dari terminal 2 dengan intensitas penerbangan yang lebih tinggi. Para pejabat eselon kelas bisnis yang biasanya lebih prefer menggunakan maskapai plat merah, sebagian beralih ke maskapai lain yang ketersediaannya lebih banyak. Ironi memang, Garuda sebagai simbol maskapai terbaik selama ini ternyata tidak bisa survive, bahkan terancam bayang-bayang pailit. Padahal, ditengah situasi covid yang cukup terkendali, bisnis penerbangan mulai menggeliat lagi. Sementara, maskapai lain mulai mengambil kesempatan dengan meningkatkan kuantitas penerbangan, bahkan ada yang mengoperasikan maskapai baru.

Tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi dengan maskapai plat merah kebanggaan bangsa ini. Tetapi hal ini pasti ada yang salah dengan tata kelola dan sense of crisis organisasi yang tidak terbangun dengan baik. Selama ini mungkin nyaman sebagai brand maskapai pilihan, terbaik, dan punya fasilitas terbaik termasuk di bandara. Aktivitas haji dan umroh yang selama ini memberikan pundi-pundi keuntungan besar bagi perusahaan, seolah lenyap karena pandemi. Dalam situasi tidak normal karena krisis yang tidak terduga, nyatanya maspakai ini tidak bisa bersaing dengan maskapai lain. Sebagai simbol kebanggan nasional, semua sepakat bahwa maskapai ini tetap harus ada, tetapi harus hijrah, menjadi lebih baik dan tidak jadi beban. Seandainya bisa diselamatkan, mungkin perlu di-rukyah secara manajemen, keluar dari zona nyaman, dan terbangun sense of crisis-nya.

Curug, Penghujung Tahun 2021

Menemani dan Melayani Sampai Menjelang “Waktu Imsyak”

Pagi ini dimulai dengan berkaca diri. Senyum-senyum di depan cermin, hanya sekedar untuk memastikan apakah masih simetris atau tidak. Senyum simetris adalah tampilan, mewakili variabel ikhlas dan ramah. Refleksi dari hati yang lapang dengan pikiran yang sejuk. Sinkronisasi hati, pikiran, serta tampilan ini sangat penting. Terutama pada saat harus melayani. Bukan hanya sekedar bagi front liner officer, tapi bagi siapa saja, terutama para leader. Karena melayani tidak mengenal siapa, kapan, dan dimana. Terlebih di jaman virtual, layanan tidak mengenal lagi jam kerja. Sepanjang server hidup, kita harus siaga. Menemani dan melayani, bahkan sampai menjelang “waktu imsyak”.

Disadari atau tidak, sebagian dari kita, saya, kolega, mahasiswa kita kadang terjebak dalam parkinsow law terkait time management. “Work expands to fill the time available for its completion”, begitu kata Cyril Northcote Parkinson. Akibatnya sering tidak fokus bahkan lupa karena merasa masih punya banyak waktu. Akhirnya terbiasa mengerjakan sesuatu di saat injury time, mendekati “imsyak”. Sebagian kaum memang ada yang meyakini bahwa energi itu muncul saat terjepit dan terdesak, merasa indah di waktu akhir :-). Namun, yang kadang tidak diantisipasi adalah kondisi lingkungannya yang tidak mendukung. Mati lampu, server mati, sistem error, dan lain-lain. Yang muncul bukan energi, tapi panik, tidak tenang, cemas, dan ketakutan. Sudah diduga situasi seakan menjadi genting. Maka muncullah desakan, minta prioritas, toleransi, dan perpanjangan waktu.

Di dunia pendidikan, hal ini sering juga terjadi. Menjelang sidang kelulusan, tiba-tiba banyak mahasiswa menjadi rajin tapi campur panik meminta prioritas untuk bimbingan, revisi, dan lain-lain. Karena dosen juga manusia, tentu sangat alamiah jika merasa kesal dan bertanya, kemana saja selama ini! Deadline kami juga banyak, bukan sekedar melayani mahasiswa. Kenapa sih nggak jauh-jauh hari. Kenapa sih..kenapa sih..!!! Konflik batin, perasaan campur aduk muncul antara kesal, marah, dan kasian terutama bagi mahasiswa-mahasiswa yang “sakaratul maut”.

Dalam situasi seperti ini, respon yang diberikan tentu tidak cukup logika benar-salah saja. Perlu juga baik-buruk jadi pertimbangan. Perlu level kesabaran dan keikhlasan tingkat dewa. Dan yang tak kalah penting adalah kesadaran bawah kita akan berada pada posisi yang sama pada suatu kondisi. Berargumentasi bertanya kenapa biar jadi refleksi spontan saja, sangat wajar. Ada makna yang lebih dalam sebenarnya, dan saya sangat percaya tentang itu. Membantu urusan orang lain apalagi di saat panik dan terdesak pasti akan memberikan kebaikan kepada kita dengan cara dan asal yang tidak terduga. Mungkin hal-hal inilah yang akhirnya bisa menguatkan bahwa kita sebagai pelayan tetap bisa menemani dan memfasilitasi dengan baik. Melayani dengan hati, dibarengi dengan sapaan dan senyuman yang membuat nyaman nan tentram.

Karena yang dilayani adalah manusia, maka yang dilayani adalah klien dan kolega dengan berbagai macam latar belakang, rupa-rupa kelakuan dengan aroma yang bervariasi pula. Ada yang tidak sabar, emosional, ingin cepat, sukanya dadakan, dan panik karena sudah sesak waktu. Tapi ada juga yang pasrah. Kondisi tersebut tentu saja menggoda ketahanan kesabaran, membuat ilfeel, dan kadang mengganggu kewarasan. Akibatnya, senyum simpul simetris yang sudah dipasang pagi hari, mulai goyah menjelang siang atau sore hari. Mulai mencong ke kiri atau ke kanan. Dahi dihiasi kerutan dan cekungan. Sehingga yang muncul adalah ketus dan cemberut. Nah, dalam situasi seperti ini “saatnya untuk ruqyah”, masanya kalibrasi hati dan pikiran. Supaya bisa melayani dari hati, memberikan service excellent.

Mungkin kita terbiasa mendengar istilah service excellent ini. Jargon organisasi yang mudah diucapkan, banyak dicita-citakan, tetapi kadang sulit terjadi, padahal sudah sering ikut pelatihan sana sini. Apa sebetulnya objektif utama dari service excellent ini. Ujungnya adalah kepuasaan yang sering diukur. Tapi kepuasaan ini sangat dependable sifatnya. Ini adalah variabel endogen menurut metode orang structural equation modeling. Dia dipengaruhi oleh variabel lain yaitu ketenangan, kenyamanan, dan kepastian yang dirasakan klien saat mendapatkan layanan. Sebagai pelayan, variabel-variabel exogen inilah sebetulnya yang harus kita jaga dan kita monitor.

Terus bagaimana caranya. Ikut pelatihan service excellent  yang melatih komunikasi verbal, non verbal, kognitif maupun praktek terkait lainnya, tentu saja tudak cukup. Hakikatnya adalah bagaimana melatih ambang batas kelapangan hati dan pikiran. Dan tentu saja harus diperkuat dengan doa. Memohon kepada yang maha kuasa, bukan untuk menurunkan tingkat ujiannya, tetapi meninggikan ambang batas kemampuan. Meningkatkan kejernihan pikiran dan kelapangan hati. Meninggikan derajat kesabaran dan keikhlasan.

Tadi malam ada yang bertanya. Pak, saya menyerah saja, gak enak dan segan mengganggu ibu itu di waktu istirahatnya. Saya bilang, jangan, ini adalah kesempatan. Insya Allah, ibu itu mengerti dan paham. Yakinlah, masih banyak lagi orang baik, dengan kelapangan hati dan kejernihan pikirannya bisa membantu dan memberikan kemudahan urusan. Termasuk melayani, menemani, dan memfasilitasi sampai menjelang “waktu imsyak”.

Jangan “Parkir Bus” di Masa Pandemi

Bagi para penggemar sepak bola, taktik parkir bus ini memang menjengkelkan, merusak keindahan permainan. Tapi strategi ini sering digunakan, bahkan oleh tim-tim besar. Alasannya cukup pragmatis, mempertahankan yang sudah didapat. Bagaimana kalau strategi ini diterapkan di organisasi, tentu lain ceritanya. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan.

Sampai kapan kita bisa bertahan, apakah logistik kita cukup, apakah kita hanya menunggu waktu saja! Kalau di permainan sepak bola sangat jelas limitnya, sehingga strategi ini bisa jadi alternatif. Tetapi dalam sebuah organisasi, apalagi dalam era volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity, tentu strategi ini tidak pas. Terlebih di jaman pandemi, organisasi tetap perlu penetrasi, berakselerasi dan berinovasi. Jangan menunggu, tidak paranoid, tapi tetap waspada dan patuh terhadap protokol standar. Inilah saat yang tepat, jaman perubahan kecepatan seperti halnya di tikungan. Bukannya menyalip yang tepat itu di posisi ini!

Parkir bus di depan gawang, mungkin bisa dilakukan, terutama bagi institusi-institusi pada “zona nyaman”. Tapi, institusi semacam ini pun, yang ikut parkir penumpangnya saja, sopir, crew, dan kondektur tetap bekerja as usual. Mengoptimalisasi kondisi internal serta aktif menjemput peluang dari eksternal. Yang ironi dan sering terjadi justru sebaliknya, sopir dan crew ikut terparkir. Mengendalikan penumpang dari dinding-dinding terbatas. Jangankan mencetak gol, mengorganisasi pertahanan saja cukup sulit.

Jaman pandemi adalah jaman ketidakpastian. Perlu adaptive leadership dan juga adaptive governance. Lincah tapi tetap comply. Jangan buat sesuatu yang banci serta cenderung funny dengan asumsi mitigasi. Padahal itu adalah hasil kompromi, yang akhirnya jadi aneh sendiri. Peran leader dituntut jadi lebih, sehingga jangan dikebiri oleh regulasi sendiri. Biarkan mereka berimprovisasi, bereksplorasi, deal dengan situasi, pada ruang-ruang yang tak terbatas. Perbanyak komunikasi, menemani, dan menyelami dalam wujud yang asli. Ingat bahwa yang dihadapi adalah manusia. Mereka tetap paling nyaman berinteraksi dengan manusia secara manusia.

Mindset banyak berbuat daripada berdebat, mungkin lebih memberikan solusi. Bisa jadi tidak ideal, tapi setidaknya tidak blunder dan menghindari paradoks. Hasil tidak hanya diukur oleh pragmatisme tangible benefit, dekati juga dengan intangible benefit. Variabel terakhir ini seringnya lebih besar dan jangka panjang, tapi kadang luput dari hitungan.  Padahal sangat berpengaruh langsung pada sustainability. Bagaimana caranya. Mulai dengan memaknai a leader is one who, knows the way, goes the way, and show the way. Tambahan lainnya, sering-seringlah zoom in – zoom out kedalam dan keluar.  Dan yang pasti, zoom in – zoom out ini tidak cukup hanya di depan screen saja.

Menyulap Anak Penobang Utan Jadi Field Specialist

Oleh: Saidul Tombang

Sekelumit Cerita Direktur Politeknik Caltex Riau

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Lancang Kuning, Riau, Dadang Syarif Sihabudin Sahid merasa tidak yakin dengan masa depannya di sini. Apalagi ketika harus tinggal di salah satu ceruk komplek perumahan di Rumbai, dia seperti kehilangan masa lalunya yang ramai di Bandung, Jawa Barat. ’’Cari makan habis maghrib saja susah. Masih sunyi,’’ kata Dadang.Tapi itu dulu. 13 tahun lalu. Kini lain lagi ceritanya. Dadang sudah sangat menikmati menjadi orang Riau. Seluruh keluarganya kini di Riau. Istrinya adalah seorang pegawai negeri sipil dan mengajar di salah satu sekolah di Riau. Anak-anaknya juga lahir dan besar di sini. ’’Saya tidak ragu menghabiskan masa tua saya di sini nanti,’’ kata Dadang tentang komitmennya dengan Riau.Tunggu dulu. Mengapa harus bercerita tentang masa tua? Tentang masa depan yang masih jauh?

Saat ini Dadang masih berumur 38 tahun. Dia juga bekerja dan memimpin di kalangan anak muda. Selain tukang kebun dan pendiri Politeknik Caltex Riau (PCR), maka Dadang adalah yang tertua di kampus itu. Dari 110 dosen, tenaga administrasi, dan tentu saja mahasiswa, hampir semuanya berumur di bawah dia.’’Ini adalah komunitas besar anak muda Riau yang banyak melakukan perubahan besar,’’ kata Dadang. Perubahan besar. Kalimat itu yang selalu digadang-gadang PCR sejak pertama kali didirikan. Kampus ini dibangun atas sebuah azam besar untuk mengubah masa depan anak muda Riau. Para founding father PCR sangat berkeinginan bahwa pekerja teknik di industri Riau adalah anak-anak Riau, bukan mereka yang diimpor dari Jawa dan daerah yang memmpunyai sistem pendidikan yang baik selama ini.

Alhamdulillah, kata Dadang, azam para pendiri PCR itu sudah terbukti. Hampir semua pekerja teknik strategis di Riau adalah lulusan PCR. Perusahaan besar seperti Chevron, RAPP, Indah Kiat, Schulmberger, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo, dan lainnya, dipenuhi lulusan PCR. Bukan hanya yang bekerja di perusahaan minyak dan gas bumi saja, perusahaan di bidang information and communication Technology (ICT) juga dipenuhi oleh lulusan PCR. Yang membanggakan Dadang, lulusan PCR tidak hanya memenuhi lapangan pekerjaan teknik di dalam provinsi Riau saja. Mereka sudah menyebar di seantero Indonesia. Bahkan sudah puluhan lulusan PCR mengenyam pekerjaan di luar negeri, bergabung dan berkompetisi dengan operator dari beragam Negara. Para alumni PCR itu kini menyebar di Dubai, Bahrain, Amerika Serikat, Prancis, dan juga Rusia.

’’Terus terang saya tak dapat menahan air mata ketika mengetahui anak Riau yang kuliah di Riau bisa bekerja setara dan berkompetisi hingga seluruh penjuru dunia. Mereka yang sebagiannya baru belajar memegang mouse ketika di PCR, kini sudah bisa mengutak-atik teknologi tinggi yang dipakai perusahaan multinasional di segala penjuru dunia,’’ kata Dadang dengan nada sebak.

Lalu Dadang bercerita tentang Riki Rikardo. Dia adalah anak kampung. Anak seorang penebang kayu di Rokan Hulu. Riki Rikardo kecil dan remaja adalah potret orang yang jauh dari kata hidup mapan. Dia bekerja serabutan. Terkadang menakik getah, mencuci mobil, mencetak batu-bata, sampai menjadi penobang utan alias penebang kayu di hutan. Lalu dia mendapat beasiswa dari Darmasiswa Chevron Riau (DCR) yang mengantarnya kuliah di PCR.

Riki Rikardo adalah potret nyata seorang anak kampung yang mampu menguras air mata Dadang. Lelaki hitam ceking itu kini memang tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Setelah menamatkan kuliahnya di jurusan mekatronika, kini Riki Rikardo adalah satu dari puluhan lulusan PCR yang bekerja sebagai field specialist di perusahaan pendukung operasi minyak kelas dunia, Schlumberger. Riki, anak penobang kayu itu sudah keliling dunia, baik untuk jalan-jalan maupun mempraktikkan ilmunya bersama field specialist dari belahan dunia lainnya. Itu, yang bekerja di perusahaan minyak dan gas. Yang bekerja di bidang ICT juga sangat banyak. Ada pula yang memilih menjadi entrepreneur.

Dadang mempunyai data yang diambil dari survei alumni, ternyata 80 persen tamatan PCR sudah bekerja maksimal dua bulan setelah tamat. Kini mereka sudah bekerja 90 persen setelah enam bulan tamat.’’Kita punya target, 100 persen alumni kita harus sudah bekerja maksimal setelah enam bulan tamat di sini,’’ kata Dadang.Target seperti itu sebenarnya tidak terlalu sulit diujudkan. Karena menurut Dadang, serapan pasar terhadap alumni PCR itu sangat kuat. Bahkan, sebagian mereka sudah diterima bekerja jauh sebelum mereka tamat. Ada yang masih duduk di semester lima sudah diterima bekerja, walaupun mayoritas mereka sudah diterima bekerja sebelum wisuda.’’Kita bangga, ternyata perusahaan besar Indonesia dan multinasional secara berkala selalu mengadakan rekrutmen di kampus kita. Ada juga yang mengadakan penerimaan tenaga kerja sporadis, ada pula yang lewat job fair yang dua tahun belakangan ini rutin kita laksanakan,’’ kata Dadang lagi.

Di kampus ajaib inilah Dadang mengabdi. Di kampus inilah dia memimpin. Sebagai Direktur, yang ketika diangkat usianya masih 37 tahun, terpikul beban berat untuk menjaga kualitas kampus yang menjadi kebanggaan Riau itu.

***

Politeknik Caltex Riau (PCR) kini bisa duduk sebandiing dan tegak setanding dengan kampus ternama di Indonesia. Namun PCR bukan ITB, bukan UGM, bukan UI. PCR mempunyai budaya sendiri dengan identitas yang berbeda. ‘’PCR menawarkan karakter pembelajaran yang seimbang dan terpadu antara konsep pendidikan akademis berkualitas, prospek kesempatan kerja yang luas dan kehidupan sosial budaya yang sinergis,’’ membuka percakapan, siang itu.

Sebagai direktur yang masih muda, Dadang Syarif memikul beban berat di pundaknya. Selain harus menjaga kualitas PCR dan lulusannya di mata dunia industri, di pundak Dadang juga terbeban kewajiban untuk pengembangan kuantitas kampus supaya memproduksi tenaga kerja berkualitas tinggi secara masif. Dulu, ketika didirikan, dan juga ketika rapat tahunan, para founding father selalu mewanti-wanti untuk mengembangkan kuantitas kampus. PCR diharapkan tidak hanya mengelola program diploma, tapi juga sarjana. Bahkan PCR juga disarankan mengelola program magister dan doktoral. PCR diharapkan tidak hanya mengelola jurusan yang berhubungan dengan teknik, tapi juga membuka jurusan lain layaknya sebuah universitas.

’’Kami punya cita-cita besar untuk memproduksi lulusan dalam jumlah banyak. Namun kami ingin memastikan bahwa penambahan kuantitas tidak menurunkan kualitas,’’ kata pemilik nama lengkap itu, Dadang Syarif Sihabudin Sahid itu. Kini, jumlah mahasiswa PCR sebanyak 1.400 orang. Sebuah jumlah yang sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan sebagian besar universitas di Indonesia, termasuk di Riau. Kalau sebagian kampus lain mempunyai mahasiswa dengan hitungan puluhan ribu orang, PCR memang terasa sangat kecil dengan jumlah mahasiswa sesedikit itu.

Tapi Dadang harus bangga, karena sesungguhnya jumlah itu jauh meningkat dibanding ketika kampus itu didirikan. Apalagi, hampir semua politeknik di Indonesia tidak membanggakan jumlah mahasiswanya yang menuntut ilmu di sana, tapi seberapa banyak mahasiswanya yang bekerja di dunia industri dengan gaji sepadan.Pertama berdiri di tahun 2001, jumlah mahasiswa PCR hanya 175 orang. Mereka hanya punya tiga jurusan. Namun kini setidaknya mereka sudah mempunyai delapan jurusan. Tidak hanya terfokus pada program diploma tiga saja, tapi juga sudah merambah ke tingkat diploma empat atau setara dengan strata satu dengan gelar akademik Sarjana Sain Terapan (SST).

’’Para pendiri dan pihak yayasan mengharapkan PCR mampu menghasilkan alumni lebih banyak lagi. Target mempunyai mahasiswa di atas 10 ribu orang sudah dipancangkan. Kita siap mengarah ke sana. Namun kita ingin memastikan bahwa kuantitas itu tidak akan mempengaruhi kualitas,’’ kata pria kelahiran Bandung, 5 Mei 1975 itu.

Untuk mencapai target itu, PCR pernah berkeinginan untuk menyulap namanya menjadi universitas. Tidak politeknik, tidak juga institut. Namun ternyata, seiring dengan regulasi baru yang memungkinkan sebuah politeknik mengelola semua disiplin ilmu, bahkan hingga jenjang doctoral, tidak hanya jurusan teknik, maka kini kesempatan itu jadi terbuka lebar. Mereka tidak lagi menunggu status universitas untuk membuka jurusan baru dan jenjang yang lebih tinggi. Kini semuanya hanya menunggu waktu.’’Kita harus tingkatkan size, membuka prodi baru, serta menambah level hingga doctoral,’’ katanya.

Selain menargetkan kuantitas, di pundak Dadang kini juga terbeban target untuk menjadi pioneer politeknik di Sumatera. Apalagi, sejak kampus ini didirikan, PCR sudah bisa bertanding dan bersanding dengan kampus terbaik di Indonesia, seperti ITB, UGM, dan juga UI. Bahkan, dalam berbagai kontes robot dan kompetisi lainnya, PCR beberapa kali mengalahkan tim hebat dari pulau Jawa itu. Hebatnya lagi, seringkali PCR menjadi satu-satunya kampus dari luar pulau Jawa yang berhasil mengalahkan hegomoni kampus yang sudah karatan di Indonesia.

Lalu, bagaimana kiat Dadang meningkatkan kuantitas tanpa mengabaikan kualitas? Pria hitam manis ini lalu menyebut sebuah kunci utama sebuah politeknik. Menurutnya, politeknik harus memastikan bahwa dia dekat dengan dunia industri. Segala produknya, kurikulumnya, dan tentu saja alumninya haruslah selaras dengan keperluan dunia kerja industri.Untuk mendukung itu, Dadang juga mengembangkan teaching factory di kampusnya. Mereka sedang mengebut pembuatan produk-produk yang diperlukan dunia industri. Keuntungan utamanya tentu saja bukan hasil produknya, namun teaching factory ini akan menjadi wahana utama dan simulasi sebenarnya bagi mahasiswa sebelum benar-benar bekerja di dunia industri.’’Kita mengharapkan laboratorium kita mampu menghasilkan sesuatu yang bisa digunakan untuk umum dan pabrikan,’’ kata Dadang lagi.

Dadang beruntung. Ternyata kesungguhannya dalam membangun PCR bersama tim muda dan tangguh telah menghadirkan kepercayaan banyak orang kepada mereka. Terakhir, PCR menerima dana hibah dari Asian Development Bank (ADB) sebanyak Rp17 miliar. Dana sebanyak ini digunakannya untuk investasi laboratorium yang nantinya akan bermuara pada factory-factory mini di kampus.’’Kita sangat faham bahwa sebuah politeknik tanpa laboratorium adalah nol besar. Makanya, sejak kampus ini didirikan, PCR sangat concern dalam membangun labor. Kita ingin pada suatu masa labor ini jumlahnya lebih banyak dibanding ruang kelas yang mengajar tutorial dan textbook,’’ kata Dadang.

***

Jangan tanya komitmen Dadang Syarif tentang Riau. Lelaki Sunda ini mengaku menyiapkan diri untuk menghabiskan masa tuanya di sini. Dia mengaku sudah terlanjur cinta dengan tanah Melayu. Terlanjur menyukai masyarakatnya, masakannya, dan tentu saja ingin meujudkan azam besarnya di negeri ini. Awal datang ke Riau sebagai dosen, beberapa saat setelah menamatkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), Dadang memang sempat nervous. Dia tidak terlalu yakin bisa bertahan lama di negeri ini. Namun waktu memang mengubah segalanya. Kini hatinya sudah terbolak-balik oleh keadaan.

Hal yang paling mengubah pandangan masa depannya adalah keberhasilan PCR menjadikan anak-anak Riau duduk sebanding tegak setanding dengan anak-anak luar Riau. PCR juga sudah mampu mengubah kiblat pendidikan. Kalau dulu ingin sukses harus di pulau Jawa, namun kini PCR menjawab segalanya.’’Sekarang anak Riau boleh bangga dengan capaiannya. Bahkan anak Riau kini sudah mulai mendominasi lapangan kerja teknik dan informasi teknologi. Perusahaan besar Riau tidak perlu lagi jauh-jauh melakukan recruitment ke Jawa, cukup di Riau saja, mahasiswa dan alumninya sudah memiliki kapasitas sama dan bahkan bisa lebih dari yang di Jawa,’’ kata Dadang.

Keberhasilan Dadang dan timnya menjadikan anak-anak Riau menjadi ‘orang’ inilah yang membuatnya tambah betah di sini. Ternyata dia tidak sia-sia ke sini. Azam besarnya terbukti. Jerih payahnya terbayar.’’Jangan tanya komitmen saya tentang Riau dan pekerjaan ini. Dengan bertahan di sini, mempunyai keluarga di sini, istri menjadi pegawai pemerintah di sini, sudah cukuplah sebagai jawaban atas komitmen saya tentang Riau ini. Bahkan, saya tidak punya rencana apa-apa untuk masa tua di Bandung. Sedangkan di Riau sudah saya siapkan segalanya untuk hari tua,’’ kata pria yang suka berpakaian rapi ini.

Dadang mengaku sangat optimis dengan masa depan Riau. Dengan sumber daya alam yang besar, Riau mempunyai kans untuk lebih sejahtera dibanding sekarang. Minyak bumi, gas, hutan, kebun, laut, batu bara, kelapa, dan lainnya adalah anugerah yang luar biasa untuk Negeri Lancang Kuning ini.

Namun begitu, dia menyisipkan kritik yang perlu dicermati. Menurutnya, sering kali orang lalai dengan kemewahan dan serba berkeberadaan. Sehingga sebagian anak muda di Riau kini banyak yang lengah, atau paling tidak salah persiapan oleh orang tuanya. ’’Mungkin karena merasa berada dan berkecukupan, sebagian mereka jadi lengah dan tidak mau belajar,’’ katanya. Namun Dadang mengaku sangat bangga ketika sebagian besar anak muda Riau menyadari bahwa kekayaan alam bakal habis. Maka mereka mendirikan komunitas untuk pekerjaan kreatif. Hebatnya lagi, komunitas anak muda kreatif yang peduli dengan masa depannya mulai tumbuh dengan subur. Banyak sekali komunitas anak muda yang terbentuk di Riau saat ini.

Diversity Riau menjadi salah satu alasan lain bagi Dadang untuk bertahan di negeri ini. Heterogenitas suku tidak menjadikan Riau rawan konflik. Tak ada suku yang terlalu mendominasi di sini. Melayu, Jawa, Minang, Batak, Aceh, Sunda, Banjar, Bugis, China, India, semuanya ada di sini. Suku Melayu sebagai induk dan tuan rumah juga tampil bijaksana. Nyaris tidak ada konflik antaretnis di negeri ini.’’Diversity suku ini menjadikan Riau semakin kuat dan membuat mereka yang datang menjadi nyaman tinggal di sini,’’ kata Dadang.

Bagaimana dengan pemimpin muda menyebutkan bahwa faktor umur sebenarnya cukup berpengaruh dalam manajemen. Namun yang paling penting adalah sistem yang mengaturnya. Dia lalu menceritakan kisahnya dalam memimpin PCR. Walaupun dia masih berumur 37 tahun dan mayoritas dosen hanya berjarak umur satu dua tahun dengannya, tapi itu ternyata tidak jadi halangan sama sekali. Dia tidak merasa gamang.’’Karena sistemnya sudah disusun dengan baik sejak awal. Sebagai direktur saya hanya perlu menyentuh pada bagian tertentu saja,’’ katanya. Bahkan menurutnya, memimpin dan bekerja sama dengan anak muda mempunyai banyak kelebihan. Kelebihan utamanya adalah semangat kerja yang masih fullpower. Mereka masih bisa diajak lari dengan kecepatan di atas 100 kilometer per jam. Mereka juga sangat ambisius, punya komitmen tinggi, dan dinamis.

Kini Dadang sudah memetik hasil usaha bersama timnya selama ini. Di tangann dinginnya, kini PCR sudah mandiri secara manajemen sejak 2012, setelah tahun 2007 mandiri secara financial. Dadang juga sudah susah mengingat satu per satu mahasiswanya yang sudah bekerja di luar negeri dengan gaji yang mungkin dua tiga kali lipat dibanding dosennya sendiri.’’Saya pakai filsafat guru saja. Biarlah muridnya bekerja lebih baik dan bergaji lebih tinggi, selama ilmunya bermanfaat bagi mereka, sudah cukuplah sebagai balas jasa,’’ kata Dadang.

***

Sense of Crisis

Entah kenapa, tiba-tiba saja berseliweran wangsit yang menuntun saya menulis tentang hal ini, ya…tentang sense of crisis.

Hahaha..sebetulnya hanya ngeles saja…Di tengah ketiban stagnasi menulis ilmiah, inilah salah satu jalan keluar untuk mengkalibrasi logika, reorientasi cara berfikir, dan melatih nalar supaya kembali ke posisi normal. Sebetulnya ada cara lain, kulineran, sepedaan atau hunting spot dan objek baru, tapi rasanya agak susah di tengah suasana yang sedang mendung dan tiba-tiba bisa turun hujan ☺.

Kembali lagi ke judul tulisan ini, sense of crisis adalah sebuah nilai, berupa kepekaan dan sensitivitas rasa, naluri, pikiran serta perilaku kita terhadap suatu keadaan. Tidak hanya pada saat kondisi tidak nyaman, tetapi juga sebaliknya. Kenapa nilai ini penting, tentu saja karena ini berkaitan dengan kreativitas dan dorongan untuk terus berfikir dan berusaha ke arah yang lebih baik. Sense of crisis ini menjadi salah satu nilai yang harus terus dijaga dan tertanam pada diri maupun organisasi.

Beberapa tahun lalu saya punya proyek kecil-kecilan merenovasi rumah kami. Scope, time, dan cost telah kami tentukan dan estimasi sesuai dengan masukan tukang dan tentu saja supplier bahan bangunan. Pada akhirnya kami menyepakati untuk merealisasikan proyek tadi. Singkat cerita setelah empat bulan, proyek kami ini selesai, dengan penambahan scope pekerjaan dan waktu yang masih bisa ditoleransi. Tetapi untuk variabel cost ternyata terjadi over yang jauh di luar estimasi kami. Untuk sesaat, kondisi tidak nyaman ini tentu saja menciptakan “guncangan” dan “economic crisis”. Mau tidak mau situasi “krisis” ini merevisi rencana-rencana yang sudah kami canangkan di akhir tahun dengan tidak mengubah substansinya. Dan satu hal yang paling penting adalah bagaimana kondisi ini juga bisa disosialisasikan dan dipahami oleh semua anggota keluarga termasuk anak-anak, sehingga menumbuhkan sense of crisis ini.

Pertengahan tahun 2012, mimpi organisasi untuk menambah fasilitas ruang kelas, laboratorium, serta memiliki gedung pertemuan sendiri mulai kelihatan arahnya. Pada saat itu, kekuatan finansial kami hanya cukup untuk membangun wing selatan dan utara saja, kalau pun mau ada hall pertemuan, hanya bisa menambahkan kanopi saja diantara keduanya. Tetapi..ya ..itu, kelemahannya kurang artistic dan sulit untuk bisa dijual/disewakan. Setelah diskusi panjang yang cukup melelahkan, pertimbangan ini itu, diputuskan supaya gedung pertemuan dibangun sekalian. Terus darimana dapat uang tambahannya…Jalan satu-satunya adalah berutang ke bank.

Pada saat shareholder menanyakan “kamu sanggup gak kalau kita ngutang untuk membangun gedung ini”, tentu saja menjadi pertanyaan yang berat sekali. Apakah saya pernah ngutang, tentu saja pernah. Kalaupun saya ngutang dan saya tidak bisa bayar resiko hanya ditanggung oleh saya dan keluarga saja. Tetapi kasus yang ini lain, saya harus memperhatikan 130-an orang yang akan terganggu nasibnya, jika seandainya di tengah jalan utang gak bisa dibayar. Entah kenapa, pada saat itu ada semacam dorongan yang memberikan keyakinan untuk mengatakan bahwa kita sanggup. Konsekuensinya seluruh pegawai dengan perannya masing-masing harus mempunyai sense of crisis pada hal ini, tetapi dalam suasana yang tidak panik dan tetap tenang.

Pada saat itu arahan untuk middle management level adalah memastikan bahwa bagaimana cash flow dijaga supaya tetap positif dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepegawaian tetap berjalan seperti biasa. Pegawai tetap bisa naik gaji dan mendapatkan maslahat-maslahat lainnya. Alhamdulillah bisnis berjalan seperti biasa, staf memberikan kontribusi terbaiknya, yang pada akhirnya ber-impact pada keberlangsungan organisasi.

Cerita utang rupanya bukan satu-satunya yang membuat suasana tidak nyaman pada saat itu. Di tahun yang sama, fasilitas dan gedung yang dibangun melalui cost recovery mau dilepaskan dari pembukuan aset. Artinya bahwa aset yang selama 11 taun ditempati, akan dikembalikan kepada negara, karena memang begitu aturannya. Aset yang betul-betul dimiliki ya Gedung Serba Guna dan salah satu lantai di satu blok saja. Kalau kita diam dan pasrah, tentu akan lepas begitu saja, karena itu cara yang paling mudah bagi pemerintah. Berbagai upaya dilakukan untuk meyakinkan pemerintah pusat supaya aset tersebut diberikan ke Badan Penyelenggara. Ternyata hal itu tidak mudah dan butuh waktu.

Memberikan aset pemerintah ke lembaga swasta ternyata harus hati-hati dan banyak sekali pertimbangannya. Apa yang kita lakukan pada saat “krisis” seperti itu, sama dengan sebelumnya, yang penting institusi ini tetap dapat berjalan dengan baik, stafnya terus berprestasi, reputasinya terus terjaga serta memberikan kontribusi positif bagi bangsa ini. Hal inilah yang menjadi ujung tombak menambah keyakinan pemerintah secara langsung maupun tak langsung untuk memutuskan bahwa Badan Penyelenggara kami adalah lembaga yang tepat untuk pengalihan aset ini. Alhamdulillah, setelah hampir 4 tahun, dalam suasana lebaran, kami menerima surat keputusan kepemilikan aset ini. Dapat melewati suatu kondisi yang tidak nyaman dengan baik, Insya Allah akan mendapatkan sesuatu yang manis.

Atas usaha, doa dan dukungan seluruh staf, Alhamdulillah, kami mendapatkan beberapa skema hibah bersaing. Rezeki ini tentu saja menjadi dana segar di tengah kondisi cash flow yang cukup kritis di masa utang. Walaupun kami tahu konsekuensinya akan disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan tambahan yang kadang-kadang tak kenal waktu. Tetapi kami tetap bersyukur bahwa masih ada sesuatu yang bisa dikerjakan. Malah akan sulit jika pekerjaan itu tidak ada. Bonus lainnya pada “masa krisis” ini adalah kami selalu dipercaya sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang melibatkan institusi lain. Di saat bersamaan kami terpilih menjadi salah satu institusi di Indonesia pada program TF-Scale dengan sponsor Temasek Foundation.

Wah..koq jadi serius dan kepanjangan yah…anggap saja ini sekedar cerita ringan sepenggal kisah pengalaman saja. Pesan moralnya adalah bahwa apa yang kita capai hari ini tidak didapatkan dengan mudah. Ada masa-masa kritis yang harus dilalui. Perlu usaha yang keras dan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya…dan Alhamdulillah bisa dilalui dengan baik…Pesan moral lainnya adalah tentang nilai sense of crisis tadi, khususnya pada kondisi kritis atau tidak nyaman. Perlu usaha dan komitmen dari semua pihak untuk memperhatikan rasa, sensitivitas dan kepekaan terhadap situasi ini. Sebisa mungkin kita bisa saling mengingatkan untuk mengindari kegiatan-kegiatan yang sifatnya paradox dan berlebihan, serta saling menjaga perasaan satu dengan yang lain

Ada Pelangi Dibalik Hujan Badai : “Sebuah Refleksi Hikmah Pandemic Corona di Pendidikan Tinggi”

Selalu ada hikmah di balik kesulitan yang kita hadapi. Kita harus selalu percaya tentang itu. Dan itu pula yang akan menjadi “anchor” dalam menjaga pikiran, hati, dan energi untuk selalu berada pada kutub positif. Pandemic corona yang sedang melanda kita saat ini telah “memaksa” secara masif dan mengubah cara kita dalam beraktivitas. Disrupsi teknologi yang telah merubah berbagai macam proses bisnis mungkin sudah dipahami dan disadari sejak awal, tetapi “perubahan drastis” sampai menyentuh hal-hal yang sifatnya “sakral” adalah baru kali ini dan sangat “menyesakkan”. Kegiatan di tempat beribadah yang ditarik ke rumah mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi hari ini kejadian. Sebagian besar orang mungkin akan menahan untuk tidak mudik lebaran tahun ini, padahal ini adalah kegiatan “sangat penting” dan sudah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Namun demikian, jika kita melihatnya dengan jernih, selalu ada pelangi dibalik hujan badai. Tuhan sudah mengatur semuanya. Langit tidak selalu biru, cahaya matahari dan mendung muncul bergantian, begitupun antara kebahagiaan dan kesedihan. Tetapi yang harus diyakini adalah selalu ada kemudahan dan hikmah dibalik setiap cobaan. Saat ini mungkin kita sedang diuji pada salah satu jenis kesabaran seperti yang pernah disampaikan oleh sahabat nabi Ali Bin Abi Thalib R.A. Kesabaran itu ada dua jenis, sabar menghadapi sesuatu yang kita inginkan dan sabar menghadapi sesuatu yang tidak kita inginkan.

Sejalan dengan hal diatas, bagi kita di institusi pendidikan tinggi, kejadian pandemic corona ini telah memberikan hikmah dan spirit yang luar biasa. Dari sekian banyak hikmah, paling tidak ada tiga spirit yang bisa kita dapatkan.

1. Spirit Eksplorasi dalam Pembelajaran Daring

Euphoria pembelajaran daring mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi di awal-awal telah menjadi pengalaman baru yang mengasyikkan” bagi sebagian orang terutama para pendidik. Sebagian dari kita bahkan melampiaskannya dengan “pamer” di sosial media tentang proses pembelajaran dengan berbagai macam teknologi dan media e-learning yang digunakan. Tetapi, memasuki minggu ketiga dan keempat, “masalah” mulai bermunculan, setidaknya dari survey-survey yang dilakukan terhadap para peserta didik dan mahasiswa. Beberapa persepsi dan perasaan mulai muncul: bosan, tidak efektif, lebih berat, pelajaran sulit dipahami, mahal (kuota internet boros), jaringan lelet, dan lain-lain. Kalau pendekatan Technology Acceptance Model yang disampaikan Fred Davis diterapkan dalam situasi ini, kemungkinan besar nilai variabel “Perceived usefulness”, “Attitude towards using e-learning” dan “Intention to use e-learning” hasilnya “tidak sesuai harapan”.

Dari sini kita bisa bermuhasabah diri ternyata pembelajaran daring ini tidak melulu hanya masalah teknologi. Sebagai seorang pendidik kita dipaksa untuk “tidak egois”, perlu memperhatikan juga dari sisi siswa pembelajarnya. Aspek-aspek yang berkaitan dengan sisi teknis seperti penyediaan infrastrukur jaringan serta kuota internet yang murah mungkin memerlukan peran dan tugas pemerintah. Tetapi, aspek-aspek untuk menciptakan “interesting” dan “engagement” siswa terhadap pembelajaran daring mungkin menjadi tugas dan tantangan kita sebagai pendidik. Berita baiknya, sebagian pendidik sudah mulai menyadarinya. “Masa adaptasi” pembelajaran daring selama 3-4 minggu ini telah membuat kita lebih “bijak” dan paham akan pentingnya pengalaman psikologis siswa dalam pembelajaran daring. Indikasinya, munculnya spirit untuk terus berkreasi, memperbaiki, dan mengeksplorasi strategi dan teknologi yang pas dengan kondisi siswa dalam pembelajaran daring.

Semangat untuk membuat konten-konten menarik, timbulnya “curiosity” untuk mencari dan memilih aplikasi soal-soal quiz yang interaktif menjadi fenomena yang menggembirakan. Dari sisi teknologi, mendapatkan sistem yang adaptif terhadap kondisi psikologis pembelajaran  siswa ini belum banyak, tetapi hal ini bisa menjadi peluang baru bagi pengembangan aplikasi e-learning dimasa yang akan datang.

2. Spirit Berinovasi dan Berkreasi

Pandemic corona ini telah memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Kita seolah diuji tentang kesiapan dalam menghadapi dan akibat yang ditimbulkannya. Faktanya, secara umum kita belum siap. Tidak hanya masalah kesiapan infrastruktur dan peralatan kesehatan yang tidak cukup. Tetapi dari sisi edukasi ke masyarakat dan sistem pengambilan keputusan yang cepat dan tepat juga menunjukkan ketidaksiapan. Sehingga sangat wajar kalau muncul masalah disana sini. Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan, laboratorium pengujian yang terbatas, kesadaran masyarakat yang masih rendah, data yang tidak sinkron seolah menjadi informasi dan bahan perdebatan sehari-hari.

Tetapi, selalu ada hikmah dibaliknya. Bagi sebagian pihak, hal ini merupakan peluang untuk berinovasi dan berkreasi. Timbulnya kesadaran dan spirit untuk membuat karya inovasi dalam bentuk produk, aplikasi dan layanan edukasi ke masyarakat menjadi hal yang sangat menggembirakan. Semangat untuk berkarya dengan implementasi solusi yang cepat terhadap berbagai permasalahan pandemic ini layak untuk disyukuri dan diapresiasi. Masalah nyata di depan mata telah memicu dan memacu peran kita khususnya di pendidikan tinggi untuk mengimplementasikan tri dharmanya. Ini pengalaman yang sangat berharga dan langka. Hikmahnya, jarang-jarang karya inovasi kita dibuat cepat, diuji, dan diimplementasikan langsung. Sebuah pelajaran baik yang menegaskan kembali tentang pentingnya “keseriusan” dalam menuliskan latar belakang dan rumusan masalah dari suatu penelitian. Dalam kondisi normal, “masalah nyata” ini pun cukup banyak. Tapi, dengan alasan “effort” yang tinggi, kadang sebagian dari kita suka “menciptakan dan merumuskan masalah yang dibuat sendiri atau dibuat-buat”.

3. Spirit Berbagi

Banyak teman-teman, mahasiswa, tetangga, dan kolega yang dalam kesehariannya memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Pada masa pandemic ini, spirit berbagi begitu menggema dan memberikan inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan kebaikan yang sama. Ada orang dengan kelebihan harta tetapi tidak punya waktu untuk bergerak, maka dia mendonasikan sebagian hartanya melalui orang lain. Ada juga yang tidak punya harta, tetapi punya tenaga, pikiran, dan waktu untuk menjadi relawan. Ada suami istri penjahit yang menutup sementara orderannya hanya untuk membuat masker yang memang langka. Beberapa orang pegawai rela mengajukan cuti ke perusahaan hanya untuk membuat produk APD. Sebagian staf memilih tidak work from home biar bisa mengerjakan sesuatu dan berbagi untuk lingkungannya. Ada yang dibalik layar terus mengembangkan aplikasi dan menjaga server supaya terus memberikan layanan kepada masyarakat. Banyak pihak yang terus menyuarakan kebaikan dan menginspirasi pihak lain untuk terus berbuat kebaikan daripada sibuk berpolemik dan berdebat.

Kita sadar bahwa pandemic ini masalah bersama, kita selesaikan bersama sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Kalaupun tidak bisa berbuat langsung, disiplinlah mengikuti protokol pandemic corona serta senantiasa berperilaku pola hidup sehat dan bersih. Senantiasa memanjatkan doa dan memberikan semangat kepada para relawan dan petugas di garda depan adalah kontribusi yang luar biasa.  Untuk saat ini, berpolemik karena tidak siap menghadapi kenyataan wabah ini adalah bukan pilihan yang bijak. Lebih baik menyalakan lilin daripada menggerutu pada kegelapan.

Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan kepada kita semua.